Pisau telah terasah tajam, anak semata wayang, sembilir
tulang yang dirindukan siang-malam kelahirannya, yang ditinggalkan ketika
bayinya itu telah berpasrah ridho menyambut titah Robb yang diserukan dalam
mimpi ayah handanya. Ismail sang anak yang penuh kesabaran menyambut perintah
penyembelihan dirinya dengan kalimat yang menggetarkan qalbu-qalbu keimanan,
dan Ibrahim sang ayahanda yang tak pernah meletakan ketaatannya pada Alloh di
belakang tirani perasaannya berdiri dengan tenang melawan berjuta amuk
perasaan.
Kisah selanjutnya tentu sudah kita
hafal bersama. Mungkin, hanya satu episode ringan yang terkadang kita lewati.
Tentang sosok iblis penggoda, mendatangi ibrahim, ia gagal, rajaman batu
ibrahim memanaskan tubuhnya, tak berhenti, ia datangi hajar, sang bunda yang
penuh kelemah lembutan, namun, lagi-lagi, kutukan dan rajaman batu yang ia
rasakan, tak juga menyerah, Ismail pun tak luput dari targetnya, namun juga
pada akhirnya hanya menjadi penyesalan bagi sang pemilik gelar durjana.
Nah, kita jadi bertanya, sebegitu
bodohnya kah iblis, mau repot2 menggoda para rosul, orang-orang pilihan Alloh?
Alloh tentu tidak akan memilih orang sembarang, yang gampang tergoda, meski
bergelombang ujian menerpa? Tidak mungkin. Tapi dia, iblis, ternyata tak
mengenal lelah menebar dusta, mengajak ingkar pada robbuna meski dia seorang
anbiya, juga tak mengenal siaran tunda meski tubuh telah lelah mendera luka.
Ya Alloh, alangkah malunya kita,
berhenti memasuki medan juang saat kerikil baru menggelitik ujung jemari kaki,
alangkah ridhonya kita mengatakan, “Ah dia sulit untuk didakwahi… dia dedengkot
thogut, dia pemilik hati berkarat-karat” padahal seutas doa pun belum terlontar
mengiring ajakan menuju mihrab-Nya. Duh, alangkah beratnya hati untuk mengatakan,
bahwa kita sudah mendahului ketentuan Alloh sebelumnya segalanya kita kerahkan.
Ganjar
Wijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar