Sebaliknya, lawan dalam Islam disekat oleh sekat keimanan, pandangan dan sikap kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan disekat oleh kedekatan, status sosial, keturunan, pangkat, derajat, dan lainnya.
Dalam frame perjuangan Islam, penempatan kawan dan lawan harus tepat, tidak boleh bergeser sedikitpun apalagi keliru. Penempatan yang tepat seperti menyangga sebuah bangunan yang masing-masing sebagai penguat untuk mendirikan dan menegakkan bangunan dalam wujud kebersamaan.
Namun, sebaliknya penempatan yang salah, seperti menyangga sebuah bangunan. Tapi hakekatnya merobohkan bangunan itu sendiri, karena masing-masing tercerai berai dalam persepsi yang keliru antara kawan dan lawan.
Wa’yu (kesadaran) untuk memaknai kawan dan lawan serta menempatkannya dengan benar dalam bingkai Iqomatuddin hari ini nampaknya jauh dari kenyataan. Masing-masing mempunyai klaim sebagai penegak bangunan din ini, sementara yang lain dianggap tidak mempunyai hak, yang akhirnya tidak saling menguatkan, namun justru satu dengan yang lainnya saling merobohkan.
Batasan antara kawan dan lawan tidak jelas. Batas kecintaan dan kebencian samar. Masing-masing bertikai. Prioritas amalan tidak ada. Sementara musuh semakin mengokohkan cengkramannya. Membelah-belah umat, menancapkan taring-taring syetannya.
Akibatnya, umat tidak memandang indahnya sebuah bagunan, bukan sebagai rahmat bagi alam semesta yang penuh keteduhan dan kedamaian. Namun, mereka justru sinis melihatnya tidak merasa memiliki dan bahkan malu dan muak. Lebih jauh tersebarnya berbagai fitnah ditengah-tengah mereka. Umat bergelimang dalam lautan syahwat dan syubhat. Tersebarnya berbagai kemusyrikan, meratanya kemaksiatan dan merajalelanya kebodohan. Kebenaran terbalik, yang halal menjadi haram yang haram menjadi halal.
Mereka sama-sama merobohkan bangunan. Ini satu akibat mereka salah menempatkan siapa kawan dan siapa lawan. Akankah kenyataan ini menjadi sebuah pelajaran? (Anwar/Reflekasi annajah edisi 27)
Al-Qolam Kr-moncol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar